KORUPSI
DI MASA PANDEMI
Winda
Indah Wardani*
Pendahuluan
Pandemi
Corona Vints Disease 2019 (COVID-l9) juga secara nyata telah mengganggu
aktivitas ekonomi dan membawa implikasi besar bagi perekonomian sebagian besar
negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global
diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi hanya l,5% (satu koma
lima persen) atau bahkan lebih rendah dari itu. Perkembangan pandemi Corona
Vints Disease 2019 (COVID-19) juga berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian
di Indonesia. Salah satu implikasinya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah,
tergantung kepada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Corona
Virus Disease 2019 (COVID- 19) mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan
masyarakat dan aktivitas ekonomi.
Ekonomi
hanyalah implikasi dari pembatasan social untuk mengurangi penyebaran virus
corona. Diseluruh belahan dunia, corona telah menelan ratusan ribu korban jiwa.
Belum ditemukannya obat penangkal virus ini menjadi factor tidak dapat
diperkirakan secara pasti pandemic ini akan berakhir, sedangkan selama masa
pandemic masih berlangsung pembatasan social juga akan tetap berlangsung.
Sehingga pertumbuhan ekonomi akan semakin menurun, pemerintah diharuskan
menyediakan layanan kesehatan dan juga menjamin tercukupinya kebutuhan pokok
setiap masyarakat. Oleh karenanya realokasi anggaran dilakukan untuk mengatasi
keadaan demikian, anggaran yang dikucurkan tentu tidak sedikit.
Berkaca
dari cara penanganan bencana di Indonesia adanya kerentanan dalam pengelolaan
sumber daya publik, khususnya anggaran, karena potensi penyimpangan yang
relatif tinggi. Berbagai kasus korupsi telah diungkap oleh penegak hukum maupun
dilaporkan oleh masyarakat korban yang tidak mendapatkan hak atau bantuan
mereka sebagaimana mestinya. Sementara bantuan dari berbagai sumber, baik
masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional mengalir seiring dengan
bencana yang terjadi.
Anggaran
Penanganan Covid-19
Presiden Joko widodo
dalam pidatonya tanggal 1 April 2020 menyatakan total tambahan belanja dan
pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Cofid-19 adalah sebesar Rp405,1 triliun.
Anggaran tersebut dialokasikan untuk sejumlah aspek untuk penangangan virus
yang tengah mewabah tersebut, antara lain:
- Rp75 triliun untuk bidang kesehatan
-
Rp110 Triliun untuk social safety net (jaring pengaman
sosial)
- Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan
dan stimulus KUR
- Rp150 triliun dialokasikan untuk
pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit
dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan
dan pemulihan ekonomi. Belum lagi dana bantuan atau hibah yang berikah oleh
perusahaan mapun dari Negara lain untuk percepatan penanganan covid-19. Anggaran yang sangat besar tersebut sangat memungkinkan
adanya korupsi didalam pelaksanaan kebijakan pemerintah untuk menangani
covid-19 ini. Nominal korupsi yang menjadi ranah dari KPK adalah adanya
kerugian Negara diatas 100 juta rupiah.
Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonornian Negara dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun. Dalam hal tindak pidana korupsi
dilakukan dalamkeadaan tertentu, maka pidana mati dapat djatuhkan. Penjelasan
mengenai keadaan tertentu tertuang dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001,
yakni:
“Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan social yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi”
Potensi korupsi yang mungkin dapat terjadi dimasa pandemi ini
yakni pengadaan alat kesehatan penunjang pemeriksaan,
ruang isolasi, dan Alat Pelindung Diri (APD); dana menggratiskan biaya
pemeriksaan baik yang terbukti maupun tidak, ataupun hal-hal yang bersifat
pencegahan seperti pembagian masker murah dan sebagainya. Konsekuensi
pembengkakan defisit anggaran, sejalan dengan pendapatan APBN yang juga turun
tajam, memang akan membebani pemerintah. Dan untuk menjaga daya beli masyarakat
langkah pemerintah memberikan bantuan langsung tunai memang sudah tepat,
namun,potensi ketidaksesuaian anggaran dengan praktek dilapangan tetap akan
menimbulkan korupsi.
Perpu
No 1 Tahun 2020 Tentang Kebijaikan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem
Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus D/Sease 2019 (Covtd- Le)
Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian
Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan
Penyebaran
pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang memberikan dampak dan
mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya
penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global makadari itu pemerintah
merasa perlu untuk membuat payung hukum terkait kebijakan anggaran dimasa
krisis ini. Namun, ada catatan yang menurut penulis perpu ini dapat menjadi
potensi munculnya konflik kepentingan didalamnya.
Dalam ketentuan
penutupya Pasal 27 menyebutkan:
1)
Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah
dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan
negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara
termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan
stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan
bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan
merupakan kerugian negara.
2)
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota
sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank
Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat
lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut
baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan
pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3)
Segala tindakan termasuk keputusan yang
diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang
dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Singkatnya,
segala biaya yang dikeluarkan berdasarkan perpu no 1 tahun 2020 untuk tujuan
menyelamatkan perekonomian nasional bukanlah termasuk kerugian Negara. Pertanyaaanya,
bagaimana membuktikan seseorang melakukan korupsi jika kerugian Negara yang
nyata diangap bukan kerugian Negara. Yang kedua, pejabat yang melakukan
pelaksanaan perpu ini tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dan
yang terakhir, segala tindakan hukum pemerintah dalam baik itu tindakan dalam
privat maupun public tidak dapat digugat d PTUN. Pendek kata, menurut penulis, perpu
no 1 tahun 2020 adalah tameng pemerintah untuk “mengkebalkan” dirinya sendiri.
Perpu ini menunjukkan sikap pemerintah yang cenderung otoriter dan tidak
aspiratif.
Ditengah
pandemik penyakit menular dan krisis ekonomi tidak seharusnya pemerintah
besikap seolah “melindungi” pelaku tindak pidana korupsi yang memainkan
anggaran dana untuk mengatasi bencana nasional ini. Seharusnya pemerintah tetap
berpegang pada ketentuan undang-undang tindak pidana korupsi. Karena, menurut
saya, akan sangat keterlaluan seseorang mengambil keuntungan ditengah keadaan
genting yang mengancam nyawa karena penyakit dan kelaparan.
Sekian.