Sabtu, 25 April 2020

KORUPSI DI MASA PANDEMI


KORUPSI DI MASA PANDEMI

Winda Indah Wardani*

Pendahuluan
Pandemi Corona Vints Disease 2019 (COVID-l9) juga secara nyata telah mengganggu aktivitas ekonomi dan membawa implikasi besar bagi perekonomian sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan menurun dari 3% (tiga persen) menjadi hanya l,5% (satu koma lima persen) atau bahkan lebih rendah dari itu. Perkembangan pandemi Corona Vints Disease 2019 (COVID-19) juga berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian di Indonesia. Salah satu implikasinya berupa penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan dapat mencapai 4% (empat persen) atau lebih rendah, tergantung kepada seberapa lama dan seberapa parah penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) mempengaruhi atau bahkan melumpuhkan kegiatan masyarakat dan aktivitas ekonomi.
Ekonomi hanyalah implikasi dari pembatasan social untuk mengurangi penyebaran virus corona. Diseluruh belahan dunia, corona telah menelan ratusan ribu korban jiwa. Belum ditemukannya obat penangkal virus ini menjadi factor tidak dapat diperkirakan secara pasti pandemic ini akan berakhir, sedangkan selama masa pandemic masih berlangsung pembatasan social juga akan tetap berlangsung. Sehingga pertumbuhan ekonomi akan semakin menurun, pemerintah diharuskan menyediakan layanan kesehatan dan juga menjamin tercukupinya kebutuhan pokok setiap masyarakat. Oleh karenanya realokasi anggaran dilakukan untuk mengatasi keadaan demikian, anggaran yang dikucurkan tentu tidak sedikit.
Berkaca dari cara penanganan bencana di Indonesia adanya kerentanan dalam pengelolaan sumber daya publik, khususnya anggaran, karena potensi penyimpangan yang relatif tinggi. Berbagai kasus korupsi telah diungkap oleh penegak hukum maupun dilaporkan oleh masyarakat korban yang tidak mendapatkan hak atau bantuan mereka sebagaimana mestinya. Sementara bantuan dari berbagai sumber, baik masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional mengalir seiring dengan bencana yang terjadi.

Anggaran Penanganan Covid-19
Presiden Joko widodo dalam pidatonya tanggal 1 April 2020 menyatakan total tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan Cofid-19 adalah sebesar Rp405,1 triliun. Anggaran tersebut dialokasikan untuk sejumlah aspek untuk penangangan virus yang tengah mewabah tersebut, antara lain:
- Rp75 triliun untuk bidang kesehatan
- Rp110 Triliun untuk social safety net (jaring pengaman sosial)
- Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR
- Rp150 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi. Belum lagi dana bantuan atau hibah yang berikah oleh perusahaan mapun dari Negara lain untuk percepatan penanganan covid-19. Anggaran yang sangat besar tersebut sangat memungkinkan adanya korupsi didalam pelaksanaan kebijakan pemerintah untuk menangani covid-19 ini. Nominal korupsi yang menjadi ranah dari KPK adalah adanya kerugian Negara diatas 100 juta rupiah.
Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri     sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan     negara atau perekonornian Negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup     atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalamkeadaan tertentu, maka pidana mati dapat djatuhkan. Penjelasan mengenai keadaan tertentu tertuang dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001, yakni:

“Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan social yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi”
Potensi korupsi yang mungkin dapat terjadi dimasa pandemi ini yakni pengadaan alat kesehatan penunjang pemeriksaan, ruang isolasi, dan Alat Pelindung Diri (APD); dana menggratiskan biaya pemeriksaan baik yang terbukti maupun tidak, ataupun hal-hal yang bersifat pencegahan seperti pembagian masker murah dan sebagainya. Konsekuensi pembengkakan defisit anggaran, sejalan dengan pendapatan APBN yang juga turun tajam, memang akan membebani pemerintah. Dan untuk menjaga daya beli masyarakat langkah pemerintah memberikan bantuan langsung tunai memang sudah tepat, namun,potensi ketidaksesuaian anggaran dengan praktek dilapangan tetap akan menimbulkan korupsi.


Perpu No 1 Tahun 2020 Tentang Kebijaikan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus D/Sease 2019 (Covtd- Le) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan
Penyebaran pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global makadari itu pemerintah merasa perlu untuk membuat payung hukum terkait kebijakan anggaran dimasa krisis ini. Namun, ada catatan yang menurut penulis perpu ini dapat menjadi potensi munculnya konflik kepentingan didalamnya.
             Dalam ketentuan penutupya  Pasal 27 menyebutkan:
1)      Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
2)      Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3)      Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Singkatnya, segala biaya yang dikeluarkan berdasarkan perpu no 1 tahun 2020 untuk tujuan menyelamatkan perekonomian nasional bukanlah termasuk kerugian Negara. Pertanyaaanya, bagaimana membuktikan seseorang melakukan korupsi jika kerugian Negara yang nyata diangap bukan kerugian Negara. Yang kedua, pejabat yang melakukan pelaksanaan perpu ini tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dan yang terakhir, segala tindakan hukum pemerintah dalam baik itu tindakan dalam privat maupun public tidak dapat digugat d PTUN. Pendek kata, menurut penulis, perpu no 1 tahun 2020 adalah tameng pemerintah untuk “mengkebalkan” dirinya sendiri. Perpu ini menunjukkan sikap pemerintah yang cenderung otoriter dan tidak aspiratif.
Ditengah pandemik penyakit menular dan krisis ekonomi tidak seharusnya pemerintah besikap seolah “melindungi” pelaku tindak pidana korupsi yang memainkan anggaran dana untuk mengatasi bencana nasional ini. Seharusnya pemerintah tetap berpegang pada ketentuan undang-undang tindak pidana korupsi. Karena, menurut saya, akan sangat keterlaluan seseorang mengambil keuntungan ditengah keadaan genting yang mengancam nyawa karena penyakit dan kelaparan.


Sekian.


Capek Skripsi Part 2

  Capek Skripsi Part 2 “ketika ada energi lakukan sekarang, sekecil apapun langkahmu, mulai dari sekarang jangan menunda”   bu Ratih (dose...